KANIGARAN - Pemerintah Kota Probolinggo berhasil menanggulangi kemiskinan di wilayahnya. Hal itu sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) setempat yang menyebutkan, kemiskinan di Kota Mangga ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan.
Dari data BPS terungkap, jumlah penduduk miskin di Kota Probolinggo pada 2018 mencapai 16,90 ribu jiwa atau sekitar 7,20 persen. Pada 2019, penduduk miskin menjadi 16,37 ribu jiwa atau sekitar 6,91 persen.
Hal itu disampaikan Kepala BPS Kota Probolinggo Adenan, saat mendampingi Wali Kota Hadi Zainal Abidin dalam rilis tentang kemiskinan, yang dihadiri para jurnalis di halaman kantor wali kota, di Jalan Panglima Sudirman, Senin (16/3) pagi.
BPS menghitung kemiskinan menggunakan konsep aplikasi memenuhi kebutuhan dasar (pendekatan kebutuhan dasar). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari segi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Dalam praktiknya, BPS menentukan dulu sebuah garis kemiskinan (GK) untuk mengkategorikan seseorang yang miskin apa tidak. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
GKM merupakan pengeluaran kebutuhan makanan minimum yang disetarakan dengan 2.100 kkal per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi -padian, umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain).
Sedangkan GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
Menurut Adenan, garis kemiskinan Kota Probolinggo pada Tahun 2019 sebesar Rp 501,505 per kapita per bulan. Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 3 anggota, maka sebuah rumah tangga dengan 3 orang dan pengeluaran makan dan non makanannya kurang dari Rp 1.504.515, maka rumah tangga tersebut dinyatakan miskin.
Berdasarkan metode tersebut, maka penurunan kemiskinan di Kota Probolinggo menunjukkan peningkatan kemampuan penduduk miskin pada tahun 2019 dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Penduduk penduduk (baca: pendapatan) didekati dengan pendekatan konseptual makanan dan pengeluaran rumah tangganya.
Sumber pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga dicukupi dari hasil kerja rumah tangga sendiri, bantuan atau subsidi dari Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan juga bantuan dari swasta maupun perorangan.
Bantuan pemerintah berupa sembako atau uang tunai seperti BPNT, akan meningkatkan atau minimal mempertahankan sebuah rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan makananya yang layak. Sedangkan bantuan langsung maupun tidak langsung seperti BOS, PIP, KIS akan meningkatkan kemampuan rumah tangga dalam pengeluaran makanannya.
Grafik Menurunnya Penduduk Miskin di Kota Probolinggo
Terbaik Kedua se-Pendalungan
Penguatan program perlindungan sosial juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Probolinggo. Penguatan tersebut berupa program-program seperti labeling rumah tangga penerima bantuan dengan label miskin di bangunan rumah, penambahan BOS dengan menggunakan dana APBD seperti BOSDA, BPJS PBI untuk berobat di rumah sakit kelas 3 untuk penduduk Kota Probolinggo, bantuan sembako, rantang sehat, program bantuan lainya.
“Bantuan-bantuan ini sebagai salah satu komponen yang menguatkan ekonomi penduduk miskin agar mampu keluar dari garis kemiskian (hidup layak),” jelas Kepala BPS.
“Alhamdulillah (kemiskinan di Kota Probolinggo) setiap tahunnya mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tahun 2017 kemiskinan di angka 7,84 persen, lalu tahun 2018 menurun jadi 7,20 persen. Dan tahun 2019 kemarin turun lagi di angka 6,91 persen, ”jelas Wali Kota Hadi Zainal Abidin, dalam rilis yang juga dihadiri Sekda drg Ninik Ira Wibawati dan sejumlah Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemerintah Kota Probolinggo ini.
Persentase penduduk miskin kota / kabupaten wilayah Pendalungan tahun 2019, Kota Probolinggo berada di urutan terbaik kedua setelah Kota Pasuruan.
Wilayah pendalungan terdiri dari Kota Probolinggo; Kota Pasuruan; Kabupaten Banyuwangi; Kabupaten Pasuruan; Kabupaten Situbondo; Kabupaten Jember; Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang.
“Data ini (kemiskinan) dari upaya-upaya yang sudah dilakukan (pemerintahan) sebelumnya. Kami tetap bangga pada upaya upaya ini dan berkomitmen untuk melaksanakan program yang berdampak langsung bagi masyarakat, ”ujar Habib Hadi.
Wali Kota Probolinggo Habib Hadi Zainal Abidin dicek suhu tubuhnya oleh Plt Kepala Dinas Kesehatan dr NH Hidayati menggunakan thermal gun. Pengecekan ini digunakan untuk melihat kondisi suhu tubuh apakah normal atau tergolong demam.
Penanggulangan Kemiskinan Program Sinergikan
Wali kota menambahkan, sejumlah OPD di lingkungan Pemerintah Kota Probolinggo mempunyai program dan kegiatan yang memprioritaskan penanggulangan kemiskinan. Misalnya kegiatan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga; Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan pada tahun 2019 lalu. Penghitungan untuk kegiatan tahun 2019 ini akan dirilis oleh BPS pada tahun 2020.
Contoh kegiatan Dinsos antara lain BPNT atau program sembako pusat 13.395 KPM (keluarga penerima manfaat); Bantuan disabilitas 141 orang; Bantuan bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) 36 orang; Bantuan bagi orang dengan HIV / AIDS (ODHA) 19 orang; Peningkatan pelayanan melalui Unit Layanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan dalam rangka data terpadu kemiskinan per 31 Desember 2019 sejumlah 2054 orang; Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) kepada. Ada juga Upaya untuk verifivikasi dan validasi data melalui penempelan stiker bagi penerima bansos kepada 14.064 KPM. Setelah dilakukan penempelan stiker terpasang 12.987, tidak terpasang 1000, menolak / mundur 865 orang, pindah 21 orang, tidak ditemukan 28 orang, meninggal 86 orang.
Dinas Kesehatan juga punya kegiatan Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin di Puskesmas dan jaringannya (sunatan massal, rujukan pasien ke RS Malang / Surabaya) senilai total Rp 233.465.140. Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Bagi Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) Daerah Rp 4.588.728.603 dan Pemberian makanan tambahan Rp 160.380.000.
Untuk DINAS PENDIDIKAN, PEMUDA DAN OLAHRAGA ada kegiatan BOP PAUD Daerah, BOSDA SD Negeri, BOSDA SMP Negeri, BOSDA SD / MI Swasta, BOSDA SMP / MTS Swasta, BOSDA Madin dan Beasiswa bagi mahasiswa keluarga tidak mampu. Total 465 penerima manfaat, dengan anggaran senilai Rp 32.366.829.104 bersumber dari APBD Kota Probolinggo.
“BPS adalah lembaga yang resmi, yang menjadi acuan nasional sehingga data yang sudah dirilis akan kami evaluasi. Apabila ada catatan akan kita perbaiki. Dengan hasil dari yang disampaikan BPS saat ini, pemerintah sudah terus melakukan yang terbaik, ”tegas Wali Kota Habib Hadi. Ia berharap, rilis data dari tahun 2019 yang akan keluar dari bulan ini, kemiskinan di Kota Probolinggo kembali menurun.
Adenan menambahkan, apa yang disampaikan pak wali ada bantuan seragam, secara riil rumah tangga tidak mengeluarkan uang, tapi oleh BPS jika ada SMP dan pakai baju, maka baju yang akan dipakai oleh baju itu dari pembelian atau pemberian.
Pemberian bisa dari pemerintah pusat, pemerintah daerah atau dari mana saja akan dihitung secara tidak langsung akan menambah nilai konsumsinya. “Program-program bisa tepat sasaran, insyaallah akan bisa mengungkit (kemiskinan),” sambung Adenan.
Pertanyaan jurnalis, Adenan membenarkan jika garis kemiskinan antar daerah tidak sama. Jika di Kota Probolinggo pengeluaran Rp 500 ribu per kapita per bulan masuk kategori miskin. Tapi, di Kota Pasuruan angka tersebut justru kategori tidak miskin. (famydecta)
Pemkot Probolinggo dinilai berhasil mengentaskan angka kemiskinan di daerahnya. Hal itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) setempat yang mengklaim angka kemiskinan di kota itu terus menurun setiap tahun.
Berdasarkan data, jumlah penduduk miskin di Kota Probolinggo pada tahun 2018 mencapai 16,9 ribu atau 7,2 persen dari total penduduk. Pada 2019 jumlahnya turun menjadi 16,37 ribu orang atau 6,91 persen.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Statistik Kota Probolinggo Adenan saat mendampingi Walikota Hadi Zainal Abidin dalam siaran pers tentang kemiskinan yang dihadiri wartawan di kantor walikota, Senin (16/3).
Badan Pusat Statistik telah menghitung jumlah penduduk miskin dengan pendekatan kebutuhan dasar yang mana kemiskinan dianggap sebagai ketidakmampuan masyarakat dalam perekonomian untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok.
Secara praktis, BPS akan menetapkan garis kemiskinan untuk mengategorikan orang miskin atau tidak. Garis tersebut terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKBM).
GKM merupakan nilai pengeluaran untuk kebutuhan pangan senilai 2.100 kkal per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan sembako diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur mayur, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain).
Sedangkan GKM adalah kebutuhan minimal permukiman, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Komoditas tersebut meliputi 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 komoditas di perdesaan. Menurut Adenan, garis kemiskinan di Kota Probolinggo pada 2019 mencapai Rp501.505 per kapita per bulan. Dengan rata-rata 3 orang tinggal di rumah, maka jika pengeluaran GKM dan GKBM kurang dari Rp 1.504.515 maka keluarga tersebut dianggap miskin.
Berdasarkan metodenya, menurunnya angka kemiskinan di kota menunjukkan adanya peningkatan kemampuan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan minimumnya sehari-hari. Kemampuan penduduk (baca: pendapatan) didekati dengan konsumsi pangan dan pengeluaran rumah tangga.
Sumber pemetaan kebutuhan sehari-hari rumah tangga dipenuhi dari pendapatan bulanan, bantuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah, serta bantuan dari pihak swasta atau perorangan.
Bantuan pemerintah dalam bentuk sembako atau uang termasuk program bantuan pangan nontunai (BPNT) akan meningkat atau paling tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Sedangkan bantuan langsung dan tidak langsung termasuk BOS, PIP, KIS akan meningkatkan kemampuan rumah tangga dalam pengeluaran nonmakanannya.
Terbaik kedua di Wilayah Pendalungan
Penguatan program perlindungan sosial juga telah dilakukan Pemkot Probolinggo. Ini melibatkan pelabelan rumah penerima bantuan sebagai keluarga miskin, peningkatan dana BOS yang disediakan oleh APBD APBD (BOSDA, BPJS PBI, sembako, dan program lainnya).
“Bantuan tersebut merupakan salah satu komponen penguatan perekonomian masyarakat miskin untuk keluar dari garis kemiskinan,” kata Kepala BPS.
“Alhamdulillah, (angka kemiskinan di kota Probolinggo) terus menurun setiap tahun. Pada 2017 tercatat 7,84%, turun menjadi 7,2% pada 2018, dan 6,91% pada 2019, ”kata Walikota Hadi Zainal Abidin dalam siaran persnya.
Berdasarkan persentase penduduk miskin di kota / kabupaten di wilayah Pendalungan tahun 2019, Kota Probolinggo merupakan kota terbaik kedua setelah kota Pasuruan.
Kawasan Pendalungan meliputi Kota Probolinggo, Kota Pasuruan, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang.
“Data (kemiskinan) adalah hasil dari upaya yang telah dilakukan pemerintah. Kami bangga atas upaya yang telah dilakukan dan akan berkomitmen untuk terus melaksanakan program-program yang dapat memberikan dampak bagi masyarakat, ”ujar Habib Hadi.
Sinergi Program Penanggulangan Kemiskinan
Walikota menambahkan beberapa satuan kerja di lingkungan Pemkot yang memiliki program prioritas pengentasan kemiskinan antara lain Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan dalam alokasi anggaran tahun 2019. Perhitungan program akan dirilis oleh BPS pada tahun 2020.
Program Dinsos antara lain program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan sembako untuk 13.395 penerima manfaat; bantuan untuk 141 penyandang cacat; bantuan untuk 36 orang penderita gangguan jiwa, bantuan untuk 19 orang dengan HIV; dan peningkatan pelayanan publik Satuan Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan dalam pendataan kemiskinan terintegrasi tahun 2019 sebanyak 2.054 jiwa. Upaya verifikasi dan validasi data juga dilakukan dengan menempelkan stiker penerima bantuan sosial kepada 14.064 orang. Dari jumlah tersebut, 12.987 orang sudah dicap stiker kemiskinan, 1.000 stiker tidak ditempel, 865 orang menolak label dan memilih untuk tidak dikategorikan sebagai orang miskin; 21 orang telah pindah ke kota lain, 28 orang tidak ditemukan, dan 86 orang meninggal.
Dinkes juga memiliki program Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Puskesmas diantaranya sunatan masal senilai Rp 233.465.140. Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin dalam program Penerima Bantuan Iuran (PBI) senilai Rp 4.588.728.603 dan pemberian makanan pendamping senilai Rp 160.380.000.
Untuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, bantuan operasional pendidikan untuk semua tingkatan dan keluarga miskin diberikan dengan total 465 penerima senilai Rp 32.366.829.104 dari APBD APBD.
“BPS itu lembaga resmi, jadi rujukan nasional. Oleh karena itu, kami akan mengevaluasi data yang dirilis. Dengan data yang dikeluarkan BPS saat ini, pemerintah sudah melakukan yang terbaik, ”tegas Habib Hadi. Ia pun berharap, data tahun 2019 yang akan dirilis menunjukkan kemajuan yang baik dalam pengentasan kemiskinan.
Adenan menambahkan, meski masyarakat tidak perlu membeli seragam sekolah berkat program seragam gratis yang digagas walikota, BPS akan menjadikan seragam sebagai salah satu penilaian kemiskinan.
Pemberian subsidi dari pusat atau daerah akan dinilai karena dapat meningkatkan nilai konsumsi. “Program-program yang dijalankan sebagaimana mestinya akan menurunkan angka kemiskinan,” tambah Adenan.
Menanggapi pertanyaan wartawan tersebut, Adenan membenarkan bahwa garis kemiskinan antar daerah memang berbeda. Pengeluaran sebesar Rp 500.000 tidak akan dianggap miskin di Kota Pasuruan. Di sisi lain, jumlah yang sama dianggap miskin di Kota Probolinggo. (alfien_tr)