MAYANGAN - Rangkaian lain dari giat Bersih Lahir Jiwa Masyarakat (Belahjimat) Mangunharjo, Minggu (30/7) malam, yakni gelaran istigasah dan ritual jamasan kentongan untuk melestarikan kearifan budaya dan memperkuat gotong royong, yang dilakukan dari aula kelurahan setempat.
Prosesi diawali meletakkan kentongan berwujud macan di area luar aula untuk selanjutnya dijamas atau dimandikan. Berbagai ubo rampe disiapkan sebagai 'suguh' terdiri dari telur, bunga, dan bubur putih. Pembacaan doapun menyertai selamatan tersebut. Setelah semuanya siap, jamasan pun dimulai. Kentongan berwarna hitam itu diguyur air suci bertaburan bunga didalamnya.
Lurah Mangunharjo Hari Setiyo Yani mengatakan jamasan kentongan merupakan rangkaian dari kegiatan Grebeg Suro Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Mayangan yang dilakukan sejak pagi hari sebelumnya. “Kentongan ini dibuat oleh kepala desa kedua, yaitu Pak Misrun atau Ki Lembusuro pada tahun 1918. Dengan semangat tahun baru Islam, kita buat acara ini dengan harapan semoga masyarakat Mangunharjo khususnya mendapat berkah, anugerah dan hidayah serta dijauhkan dari segala hal buruk,” jelasnya.
Kentongan hitam berbentuk macan ini, lanjutnya, merupakan ikon Kelurahan Mangunharjo dengan banyak nilai sejarah didalamnya selain karena dibuat jauh sebelum Indonesia merdeka.
Di Kota Probolinggo sendiri kini hanya memiliki 2 buah kentongan yang masih berfungsi dan terawat. Selain di Kelurahan Mangunharjo ini, kentongan lainnya berada di wilayah Kebonsari Kulon. Kentongan mengingatkan filosofi komunikasi masyarakat tradisional. Dalam komunikasi itu, melibatkan berbagai elemen antara kawula dengan pemimpin.
“Jamasan sendiri merefleksikan pola kebersamaan yang sekarang terlupakan. Sebab dari pola komunikasi yang jelas mengartikulasikan pesan dari pimpinan ke rakyat maupun sebaliknya. Malam ini adalah untuk pertama kalinya jamasan dilakukan kembali, setelah penyelenggaraan terakhir di tahun 1972. Dan atas permintaan warga, giat ini diharapkan berkelanjutan tiap tahunnya,” tutupnya.
Sementara itu Ketua LPM Mangunharjo yang sekaligus dipercaya sebagai Sesepuh Kelurahan Mangunharjo Rudi Purwanto menyampaikan, giat malam itu lahir dari sebuah pemikiran dari banyaknya potensi wisata dan budaya yang dimiliki Kelurahan Mangunharjo. Salah satunya adanya peninggalan terakhir kepala desa kedua yang masih terawat sampai saat ini yakni kentongan tersebut.
“Peradaban Mangunharjo ini terlahir dari tangan kades-kades tersebut. Nah kenapa tidak dibuat semacam ikon wilayah saja? Menilik pada sejarahnya, pada zaman dahulu ketika ada apa-apa, kentongan ini kan fungsinya sebagai media komunikasi, pada saat itu ya, konon katanya ketika kentongan ini dipukulkan, suara atau bunyi yang keluar, itu bisa terdengar satu Mangunharjo,” katanya.
Giat tersebut diharapkan bisa semakin memperkuat masyarakat sekitar dalam merawat dan meneruskan budaya yang diwariskan para leluhur kepada generasi penerus bangsa. Sebab alat pukul yang berfungsi untuk sistem keamanan lingkungan dan media komunikasi sosial pada zaman dulu itu dianggap pusaka yang sakral. Memahami fungsinya sangatlah vital, apalagi pusaka warga yang mulai langka lantaran tergerus zaman yang serba modern.
Adapun ritual jamasan mengandung makna kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Jamasan juga sebagai wujud penghormatan dan penghargaan terhadap kentongan sebagai alat komunikasi tradisional para leluhur. (es/fa)